Review Buku: How The World Really Works (shorten ver.)

Buku How The World Really Works (dokumentasi pribadi)

Welcoming our new comer (baru dirilis tahun 2022) yang ajaibnya sudah mendapat rating kelas atas (4.1/5 dari 661 rating) di goodreads. Buku ini pada dasarnya membahas tentang bagaimana Vaclav Smil mengomentari gerakan “Net Zero Emissions by 2050” yang sudah ramai diperbincangkan sejak Paris Climate Agreement 2015 lalu. Saya yang (merasa) sangat jauh dari disiplin ilmu ini pun ikut tertarik membaca karena agaknya dewasa ini mitigasi pemanasan global adalah hal yang sewajarnya diperhatikan oleh semua orang, tak terbatas apa latar belakang pendidikan dan keilmuannya.

NZE adalah kondisi dimana jumlah emisi karbon yang dilepaskan ke atmosfer tidak melebihi jumlah emisi yang mampu diserap oleh bumi. Dan untuk mencapainya diperlukan sebuah transisi dari sistem energi yang digunakan sekarang ke sistem energi bersih agar tercapai kondisi yang harmoni antara aktivitas manusia dengan keseimbangan alam, singkatnya begitu. Nah beberapa upaya yang masuk dalam roadmap NZE adalah: peningkatkan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT); pengurangan energi fosil; penggunaan kendaraan listrik di sektor transportasi; peningkatan pemanfaatan listrik pada rumah tangga dan industri; dan yang terakhir pemanfaatan Carbon Capture and Storage (CCS).

Smil mengatakan bahwa dunia ini “works” karena: energi, produksi makanan, dan 4 pilar modern material (semen, baja, amonia, dan plastik) aka fossil fuels. We are a fossil-fueled civilization, dan kita tidak bisa begitu saja meninggalkannya hanya dalam beberapa dekade, apalagi beberapa tahun.

Though much berated as a source of heating, propulsion, and versatile use, oil and natural gas remain unchallenged. The world’s most aggressive push toward green everything – Germany in the last two decades – managed to boost its shares of wind and solar in electricity generation to about 40 percent, but could barely make a dent in fossil fuels’ share of primary energy use (from 84 percent to 78 percent). What kinds of elaborate dreams must politicians and media pundits have to entertain the idea that the US – or anyone – can go (net) zero in several years? Stopping fossil fuel use in its tracks, even were it possible, wouldn’t even be moral: billions of people in the Global South need more of the things that we take for granted – energy, fertilizer, food security, vaccines.

Di postingan ini saya tidak akan menuliskan ringkasan tiap bab, tapi hanya bab yang menurut saya paling menarik, atau ada kaitannya dengan keilmuan saya. Berikut daftar isinya:

Ket: Chapter 2 Understanding Food Production: Eating Fossil Fuels isinya sedikit banyak bersiggungan dengan buku yang pernah saya review.

Ch.5 Understanding Risks: From Viruses to Diets to Solar Flares (p. 134-167)

Sebelumnya, kita harus sadar terlebih dahulu bahwa kita hidup di dunia yang penuh dengan ancaman dan risiko (man-made atau atural risk). Ancaman dan risiko ini tidak pernah hilang, melainkan bergeser saja dari waktu ke waktu, dan bahkan bertambah. Dulu, yang ditakutkan adalah hal-hal semisal serangan teroris, dan bahan pengotor di bedak/susu bayi. Namun sekarang, ketakutan itu lebih terfokus pada quotidian activities, chemophobia (residu pestisida di sayuran/buah), dan yang paling utama adalah tentang diets, global warming, dan yang masih jadi primadona berita: pandemi SARS-CoV-2.

List di atas masih bisa diperluas dengan menambahkan worries tentang mad cow disease, unknown pneumonia, hingga radiasi handphone, cybersecurity, dll dll. “The world is full of constant or episodic risks, but it’s also replete with wrong perception and irrational risk appraisals” banyak alasan yang pada akhirnya membuat kita tergiring pada mispersepsi dan miskalkulasi menghadapi ancaman-ancaman tsb. Ini berkaitan dengan: origins, prevalence, endurance.

Eat as in Kyoto and Barcelona

Terkait diets, Smil bercerita tentang Jepang yang memiliki tingkat harapan hidup tertinggi di dunia (84.6 tahun, male-female, data 2020) dan asosiasinya dengan unique diets mereka (pemenuhan protein dari seafood, daging, dan susu sedari usia dini; budaya tidak makan cemilan/kue-kue, dan less fat consumption). Data menunjukkan bahwa satu orang Amerika megonsumsi 8 kg lemak dan 16 kg gula per tahun lebih banyak dibandingkan dengan tiap individu di Jepang, wow. Jadi sangat mugkin untuk kita mengikuti cara makan orang Jepang, misalnya memasak daging/sayuran dengan metode stew, meminimalisir kondimen goreng2 dan menggantinya dengan sup miso, makan siang dengan plain cold onigiri, dll.

Sedangkan di Barat, kita bisa meniru Spanyol dengan Mediteranian dietnya. Angka harapan hidup perempuan di Spanyol adalah yang tertinggi kedua setelah perempuan Jpn (87.7 thn) yakni 86.2 tahun. Komponen makanan dalam mediteranian diet tinggi akan serat dari sayuran, buah, dan biji-bijian. Spanyol juga terkenal dengan buah zaitunnya, yang sagat baik untuk tubuh. Memang saat ini sudah mulai banyak akulturasi dalam pola makan Spaniards terutama konsumsi gula dari pop drinks dan tren boba tea. Begitu juga dengan maraknya fast-food franchise, dan sedentary life style. Tapi data menunjukkan tingkat mortalitas akibat CVD di Spanyol masih stagnan dan cenderung menurun, berbanding lurus dengan peningkatan angka harapan hidup. Spain to beat Japan in world life expectancy league table for 2040.

Risk perceptions and tolerances

Chauncey Starr pernah melakukan analisis tentang kerentanan orang dalam menghadapi/mentoleransi risiko dari voluntary atau involuntary activities. Hasilnya, toleransi orang akan lebih tinggi (tidak takut) terhadap risiko yang ia temukan sehari-hari seperti berkendara, merokok, pergi hiking ke gunung dengan ketinggian tertentu, daripada diminta ikut aksi demo teroris misalnya. “…most people have no problem engaging daily and repeatedly in activities that temporary increase their risk by significance margins” padahal, ratusan orang mengalami laka lantas, dan malah nol orang tertabrak meteor sejak tahun 1900. Intinya, kita terbiasa dengan persepsi subjektif dalam memandang risiko. Padahal semestinya kita harus aware dengan apapun jenis ancaman/risiko di luar sana, always take precautions! dan jangan pernah uderestimate voluntary/familiar risks.

“…asking for a risk-free existence is to ask for something quite impossible – while the quiet for minimizing risk remains the leading motivation of human progress”

Ch. 7 Understanding the Future: Between Apocalypse and Singularity (p.205-229)

Terminologi “apocalypse” seringkali dikaitkan dengan konteks keagamaan, seperti apa kehidupan di dunia ini berakhir, dan bagaimana cara kita sampai ke sana. Contohnya konsep hukum tabur-tuai dan surga-neraka, kondisi dunia yang “hancur-hancuran” ini dipercaya sebagian orang merupakan jalan manusia menuju “neraka”. Di sisi lain, sebagian orang (techno-optimists) percaya bahwa dunia ini akan baik-baik saja dengan menawarkan endless near-miraculous solution seperti singularity dan dengan multiplicity-nya. Mereka meyakini “Why should we fear anything – be it, environmental, social, or economic threats – when by 2045, or perhaps even by 2030, our understanding will know no bounds and hence any problem will become immeasurably less than trivial?”

Smil sendiri menjelaskan jika hal-hal fundamental dalam hidup/dunia ini tidak akan berubah drastis selama 20-30 tahun ke depan (lihat p. 216-218), salah satunya dengan kehadiran pandemi ini. “COVID-19 has provided a perfect-and costly- global reminder of our limited capacity to chart our futures, and that, too, will not (can not) change any dramatic way during the coming generation.”

Di penutup chapter 7, ada paragraf yang sangat menarik dari Smil: “As i noted, i am not a pessimist or an optimist, I am a scientist. There is no agenda in understanding how the world really works. A realistic grasp of our past, present, and uncertain future is the best foundation for approaching the unknowable expanse of time before us. While we can not be specific, we know that the most likely prospect is a mixture of progress and setbacks, of seemingly insurmountable difficulties and near-miraculous advances. The future, as ever, is not predetermined. Its outcome depends on our actions.”

Sepakat dengan Smil, tidak ada yang bisa tahu bagaimana kehidupan di depan seperti apa. Yang pasti, manajemen risiko dari segala aspek harus dilakukan. Terutama bagi orang yang beriman, mesti juga concern terhadap aspek metafisik. Dunia ini akan bekerja seperti apa yang kita bayangkan, seperti apa yang kita tahu dan ingin ketahui. Sudah tentu, yang sebenarnya terjadi tidak sesederhana itu, kita tidak akan menyadari seuatu karena kita menutup mata/tidak acuh terhadapnya. Kalau saya boleh menambahkan, it depends on how you control your mind is how the world really works.


Well, lagi-lagi saya tidak menyesal membaca buku beliau, penjelasannya sangat luas namun tajam. Kagum beneran sama Vaclav Smil, bisa ya drafting buku kayak gini sejak awal liat kondisi pandemi. SIlakan yang mau tau isi chapter lainnya, bisa cek link di bawah ini yaa. I learned a great deal, and the narration was good. Superb.

Wallahu a’lam

How the World Really Works, dipublikasikan oleh Penguin Random House
Jumlah halaman: 326 hlm (7 bab + intro, notes, ref, dan index)
Link untuk membeli buku: amazon.nl, amazon

Eindhoven, 1 Juli 2022 20:53 CEST (le Juris day out to Gouda)

Leave a comment